Minggu, 30 Oktober 2011


Irigasi hambatan terbesar produksi pangan nasional

Large_aetra012

Berita Terkait

JAKARTA: Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum Machfud mengatakan irigasi yang rusak serta kelambanan pemerintah dalam membenahi dan membangun jaringan irigasi akan menjadi hambatan terbesar dalam produksi pangan di Tanah Air.

"Itu [kerusakan jaringan irigasi] hambatan terbesar, terutama ketika negara tidak segera untuk sungguh-sungguh mengurangi ketergantungan terhadap beras untuk switch ke pangan lokal lainnya," ujarnya kepada Bisnis, Minggu 30 Oktober.

Dia menegaskan persoalan irigasi adalah penentu yang tidak dapat ditawar. "Itulah ancaman utama realiasasi target produksi beras 10 juta ton yang digembor-gemborkan."

Menurut dia, hal tersebut akan menjadi hambatan utama ketika bangsa ini masih 'berberas ria' dengan ketergantungan pada pangan pokok tunggal serta jika pemerintah sungguh-sungguh menggenjot upaya diversifikasi pangan.

Maksum menuturkan ketika selalu saja pemerintah memilih impor beras dan membunuh potensi pangan lokal, maka stok pangan semakin terancam.

"Ketika Kementerian Pertanian itu seperti Kementerian Beras yang nyaris tidak pernah menyentuh komoditas pangan lokal nusantara."

Dia menilai kinerja irigasi di Tanah Air masih buruk yang akan menjadi lebih jelek lagi dalam suasana perubahan iklim yang masih belum menentu ini.

Konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah soal irigasi, kata dia, senantiasa menjadi persoalan.

Hal itu, kata dia, akibat tarik menarik kekuasaan yang sentralistik sebagaimana tersarat dalam UU No. 7/2004 tentang Pengairan. "Amat sentralistik dan UU itu harus dirombak."

Maksum menambahkan investasi irigasi selama masa reformasi ini nyaris nol, tidak ada yang berarti. Itupun, kata dia, hanya ditopang biaya operasi, sedangkan biaya operasi dan pemeliharaan kecil.

Menurut dia, kemerosotan daya tampung reservoir dan waduk-waduk air sudah parah dan tidak jelas rehabilitasinya. Begitu pula mutu DAS, daerah aliran sungai dengan kapasitas serap air, water holding capacity merosot.

Nyaris semua waduk yang ada, kata dia, sudah merosot berat life expectancy dibandingkan dengan umur teknis menurut desainnya.

Kemerosotan dan ketidakpastian curah hujan akibat perubahan iklim, menurut dia, sudah terlambat diantisipasi oleh pemerintah. "Wacana perubahan iklim ternyata tinggal wacana semata, tanpa tindakan apa-apa."

Persoalan lain, kata dia, berupa konflik peruntukan air untuk pertanian, industri dan untuk kepentingan domestik rumah tangga, semakin memuncak dan cenderung mengorbankan irigasi.

Menurut dia, 54% atau 1,25 juta ha sistem irigasi teknis kewenangan pemerintah pusat berada dalam kondisi rusak serius dengan rincian 15% rusak parah, 60% rusak sedang dan 25% rusak ringan.

Sementara itu, dari 765.000 hektare irigasi kewenangan pemerintah daerah, 60% atau lebih dari 425.000 ha dalam kondisi rusak.

Dia menyarankan agar pemerintah mulai fokus dengan mengalihkan kepada tanaman pangan yang hemat air.

"Ini harus mulai dengan pendekatan konsumsi dan produksi, bukan dengan sekedar menyanyi. Tentu dengan melibatkan petani melalui insentif yang masuk akal bukan marjinalisasi petani oleh negara seperti selama ini terjadi," pungkasnya. (ea)

0 komentar:

Posting Komentar